BeritaPusat88 - KALA dilakukan operasi petrus alias penembak misterius, banyak kalangan yang berbondong-bondong menghapus tato atau rajah yang menandai tubuh mereka.
Rajah alias tato yang menandai tubuh sejumlah warga ingin buru-buru dihapus dengan berbagai cara.
Ada cara menghapus dengan tindakan kedokteran, tapi ada juga yang menggunakan cara apa pun karena keterbatasan biasa untuk menghapus tato.
Yang terparah, upaya menghilangkan tato dengan menggunakan setrika panas, yang kala itu terjadi, setrika dengan hiasan ayam jago, yang menggunakan arang.
Fenomena ini memang menjadi kegiatan yang marak, banyak anggota tubuh sejumlah warga menjadi cacat karena tindakan yang dianggap kurang tepat tersebut.
Menggunakan tato memang banyak dilakukan kalangan bandit karena mereka meniru legenda Yakuza di Jepang atau Triad di China yang merajah tubuh mereka pakai tato.
Masalahnya, tidak semua orang yang bertato adalah penjahat atau gali, mereka menggunakan tato untuk menghiasi tubuh mereka.
Sebagian gali memang berupaya keras menghapus tanda di tubuh mereka tersebut agar mereka tidak dijadikan sebagai sasaran untuk diringkus oleh para petrus.
Soalnya, kalau sampai ditangkap, mereka akan hilang.
Ada banyak bandit yang tidak bertato, tapi biasanya para korban petrus, tubuh mereka bertato.
Mungkin, fenomena yang pernah melegenda di era Orde Baru itu sudah terlupakan seiring tumbuhnya sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejumlah lembaga internasional seperti Amnesty Internasional.
Namun, kekejaman para bandit yang juga meningkat dengan jumlah kejahatan yang juga tinggi menjelaskan bagaimana tindakan petrus bisa menekan angka kejahatan yang sangat tinggi.
Kualitas kejahatan juga meningkat seiring hilangnya upaya penindakan tegas yang dilaksanakan tersebut.
Perampokan disertai pembunuhan, bahkan korbannya di antaranya ibu hamil, belum lama ini terjadi.
Maraknya angka kejahatan tentu saja juga berbanding dengan tingginya angka korupsi, yang juga sama-sama pencurian uang.
Masalahnya, banyak koruptor yang tidak ditembak misterius seperti diberlakukan pada bandit lainnya padahal uang yang dirampok koruptor bisa jadi jauh lebih tinggi angkanya.
Misalnya kasus e-KTP senilai Rp 2,5 triliun, Bank Century senilai Rp 6,7 triliun, atau BLBI senilai Rp 650 triliun.
Tentu saja, para koruptor penampilannya tidak seperti gali tatoan, mereka hidup di rumah yang nyaman dan mewah dari hasil korupsinya.
Meski demikian, kejahatan jalanan seperti dilakukan gerombolan debt collector yang menculik siswi SMP dan dilecehkan, misalnya, juga tidak bisa dibiarkan.
Kalangan masyarakat, yang tercermin suaranya dari komentar atas berita ini bahkan minta agar gerombolan debt collector itu ditembak mati semua.
Sebutan penembak misterius atau sering disingkat petrus adalah suatu operasi rahasia dari pemerintahan di masa Presiden Soeharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu.
Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah.
Pelakunya adalah orang terlatih yang misterius, tak jelas, dan tak bisa diidentifikasi, maka muncul istilah petrus (penembak misterius).
Mereka beroperasi seperti siluman, ada yang pro, ada yang kontra.
Sebenarnya, petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta.
Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret, tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas.
Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983.
Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan.
Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak.
Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak.
Para korban petrus, saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat.
Dua jempol mereka diikat sebagai teknik pelumpuhan sebelum dihabisi.
Cara ini mengadaptasi cara gerilyawan Vietnam saat mereka menangkap tentara United States (US) sebelum dieksekusi.
Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun.
Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui M Hasbi, yang menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983).
Sementara itu, Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983).
Akhirnya, gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja, operasi dilaksanakan secara tertutup.
Sejumlah saksi yang mengetahui kasus ini, menyatakan, target sudah diketahui dan memang merupakan pelaku kejahatan.
"Biasanya, yang menjadi target petrus sudah pasti memang bandit, perampok, pencuri, jadi memang orang yang melakukan kejahatan, saya tahu di antaranya karena tidak punya kerja, tapi uangnya banyak, hidupnya biasa berbaur, tahu-tahu, dia sudah hilang," kata seorang saksi sepak terjang petrus di Jakarta, Minggu (8/7/2018).
Menurut saksi, kehidupan memang mencekam, khususnya untuk para gali.
"Mereka diburu, saat ditangkap, tewas tidak berbekas, mereka langsung dieksekusi," katanya.
Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pemegang kekuasaan.